Breaking News

Jejak Minangkabau di NTT

Kedaluan atau Hamente Kolang di Kecamatan Kuwus dan Kuwus Barat, Kabupaten Manggarai Barat, Flores, Nusa Tenggara Timur sebagai pusat peradaban Minangkabau. Letak geografis Hedaluan Kolang berada di Lembah Kolang. Menjelajahi Lembah Kolang sambil menggali sejarah orang Minangkabau sebagai nenek moyang orang Kolang yang berlayar dari Minangkabau-Warloka-Nangalili hingga tiba sejumlah perkampungan di Lembah Kedaluan Kolang. Ada empat kampung yang memiliki bukti sejarah kedatangan orang Minangkabau di kedaluan Kolang ribuan tahun lalu di Flores Barat. Pertama, Kampung (Beo) Teno, ada jejak Bukit Kolang yang disinggahi oleh orang Minangkabau dengan Nama Pesau di sekitar perkampungan tersebut. Kedua, Kampung Lembah Kolang. Setelah menetap sementara di golo (bukit) Kolang di sekitar perkampungan Teno, orang Minangkabau itu menyusuri lembah-lembah dengan melewati Daerah Aliran Sungai (DAS) Wae Impor. Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+ Kemudian mereka tiba di Kampung Lembah Kolang dan menetap ke perkampungan itu hingga meninggal dunia. Hingga saat ini, bukti kuburannya masih bisa dilihat. Tiba di Kepulauan Selayar, Laskar Rempah Telusuri Jejak Peradaban Masa Lalu Artikel Kompas.id Ketiga Kampung (Beo) Runa, berada di Lembah Kedaluan Kolang. Kampung Lembah Runa masih tersembunyi dari promosi dan publikasi luas di media massa. Lihat Foto Di balik kampung, lembah yang tersembunyi itu menyimpan harta sejarah yang mampu mengangkat kampung itu di tingkat nasional dan internasional. Selama ini kampung Beo Lembah Runa yang diketahui oleh seputar orang Kolang dengan berbagai kisah-kisah sejarah yang masih tersimpan di bebatuan besar di sekitar perkampungan tersebut. Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+ Bahkan, para arkeolog ditantang untuk menelusuri jejak-jejak sejarah yang terdapat di bebatuan itu dengan usia ribuan tahun. KompasTravel tertantang dengan kisah lisan yang selalu dikisahkan dan diceritakan oleh orang Kolang saat bertemu di Kampung Wajur maupun diskusi lepas dari orang Kolang yang berada di Jakarta maupun daerah lainnya di Indonesia. Awalnya warga di kedaluan Kolang bahwa ada jejak telapak kaki orang India serta peta bangsa India yang diukir di bebatuan besar tersebut. Kisah itu membuat KompasTravel terus penasaran yang berbagai kisah yang disampaikan orang Kolang. Lihat Foto Namun, ada dua versi. Pertama nenek moyang orang Kampung Runa berasal dari Minangkabau. Kedua, kisah lisan bahwa gambar telapak kaki dan sebuah gambar peta di bebatuan itu dikisahkan berasal dari India. Kumpulan cerita lisan itu menantang KompasTravel menelusuri dan menjelajahi Kampung Lembah Runa, Senin (5/8/2019) diantar oleh Situs Dala, seorang warga Kampung Wajur. Situs Dala adalah siswa kelas II SMAN 2 Kuwus di Kampung Wajur, Desa Wajur. Pukul 14.00 Wita, Situs Dala antar dengan sebuah sepeda motor. Saat itu kami berangkat dari Kampung Wajur melewati kampung Nao, dan masuk di pertigaan ke kampung (Beo) Leda. Dari pertigaan Leda, laju sepeda motor agak bagus karena jalannya sudah diaspal lapisan penetrasi (Lapen) hingga jalan menurun. Saat masuk jalan menurun jalannya rusak dengan bebatuan. Laju sepeda motor harus berhati-hati dan saya turun untuk berjalan kaki. Dari pertigaan kampung Leda hingga ke Beo, kampung Runa, jalan raya sangat parah dimana kami bertarung dengan jalan tanah. Saya harus jalan kaki di jalan pendakian menuju ke pertigaan ke kampung, Beo Runa. Jalan raya ke Situs Minangkabau masih jalan bebatuan Lihat Foto Jalan-jalan di pelosok Kedaluan Kolang, di Kecamatan Kuwus dan Kuwus Barat belum semua diaspal. Masih banyak jalan tanah. Sepeda motor yang dibawa Situs Dala penuh dengan kewaspadaan supaya tidak jatuh. Beruntung Situs Dala sudah mahir berhadapan dengan medan jalan yang sangat rusak parah. Saat itu The Jakarta Post memutuskan jalan kaki hingga tiba di rumah Penjaga Situs Wisata Kampung Runa, Hubertus Dantol (59).

Setiba di rumahnya, kami bertemu dengan anak-anaknya yang sedang memisahkan buah cengkeh yang baru selesai dipetik. Memang, saat ini di Kampung, Beo Runa, warga sedang memetik buah cengkeh. Saat ditanya, anak-anak di dalam rumah itu menjawab bahwa, orantua mereka sedang memetik cengkeh di kebunnya. Saat itu kami minta tolong anak-anak di rumah itu untuk memanggil orangtua mereka. Akhirnya, kami bertemu dengan istrinya yang sedang dari kebun sambil menjunjung buah cengkeh yang disimpan di dalam keranjang, roto. Bertemu dengan Penjaga Situs Minangkabau Runa 

Saat itu istrinya memanggil suaminya bahwa ada tamu yang ingin mengunjungi situs-situs di perkampungan Runa. Akhirnya, penjaga situs wisata, Hubertus Dantol membawa sapu lidi serta sebuah parang untuk membersihkan situs-situs tersebut. Saat itu penjaga situs mendampingi The Jakarta Post untuk melihat langsung situs-situs yang dikisahkan secara lisan oleh seluruh masyarakat Kolang. Kami juga bertemu sejumlah orang di Kampung, Beo Runa yang melihat orang baru mengunjungi situs-situs tersebut. 

Jejak Kaki dan Alat Kelamin, Peta di Situs Minangkabu di Runa Penjaga Situs Wisata Kampung Runa, Hubertus Dantol (59) kepada KompasTravel menjelaskan, Beo Rua, kampung Runa merupakan kampung tertua di hamente Kolang. letak kampung ini sejajar dengan pantai Nangalili di bagian selatan dari Kabupaten Manggarai Barat. Dantol mengisahkan bahwa ribuan tahun lalu, air laut dari bagian Selatan, Nangalili masuk di lembah hamente Kolang hingga di kampung Runa. Sesuai penuturan nenek moyang orang Runa bahwa pasangan suami istri dari Minangkabau berlayar dengan sebuah sampan dari Minangkabau menuju ke Warloka. Dari Warloka menuju ke Pantai Nangalili. Dan dari Nangalili menuju ke kampung Runa. Saat itu air laut sampai di lembah perkampungan Runa. Nama leluhur orang Runa asal Minangkabau itu, Sangkil Magil, Solem Botek Letem Lana. Mereka adalah suami istri. “Suami istri itu datang dari Minangkabau. Mereka berlayar dengan sebuah perahu hingga tiba di Kampung Lembah Runa. Mereka bermalam di Beo, kampung lembah Runa dengan sebuah sampan," ujar Dantol. 

Dantol melanjutkan, "Saat bangun pagi air laut sudah surut sehingga mereka tidak bisa berlayar lagi menuju ke Pantai Nangalili. Akhirnya, mereka tinggal di Kampung Runa." "Jejak kedatangan mereka di kampung lembah Runa, mereka gambar kaki suami istri dan jenis kelamin laki-laki dan perempuan di bebatuan serta gambar sebuah rumah yang mirip dengan rumah adat Minangkabau dan juga mereka gambar sebuah peta," jelas Dantol. Menurutnya, Orang Runa menyebut peta itu adalah Peta Bangsa India. Ia melanjutkan, peta itu merupakan kenangan suami istri asal Minangkabau saat berada di Kampung Runa. "Bukti lain adalah sebuah sampan yang sudah menjadi batu, namun, sampan itu sudah pecah. Dan juga ada tulisan di bebatuan compang, tempat mezbah. Di situs Compang itu bertuliskan R U N K W,” jelasnya. 

Dantol menjelaskan, tahun 1971, Ande Batul, Pegawai Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, perwakilan Kecamatan Kuwus mengunjungi situs-situs ini. Saat itu, semua situs dikunjungi. Pesannya saat itu adalah Beo, kampung Runa adalah Beo, kampung bersejarah di Manggarai Raya karena ada bukti sejarah berupa tulisan dan gambar di bebatuan besar di sekitar kampung tersebut. Banyak orang luar menyebut bahwa peta di bebatuan besar itu adalah peta Negara India. Belum ada arkeolog dan peneliti dari luar Manggarai Raya yang melakukan penelitian tentang situs-situs ini. “Saat itu pegawai memotret seluruh situs-situs yang ada di perkampungan Runa. Selain, saya juga sudah mendata. Hasil pendataan itu sudah disampaikan kepada Dinas Pariwisata Kabupaten Manggarai Barat,” jelasnya.

Enam Situs Minangkabau di Kampung Runa Lihat Foto Dantol menjelaskan, ada enam situs jejak orang Minangkabau, sebagai leluhur orang Runa yang masih terjaga dengan baik di bebatuan besar di sekitar perkampung lembah Runa. Pertama, situs Compang Runa, di situs batu compang, tempat mezbah yang berada di ujung kampung bertuliskan, R U N K W. tulisan itu masih terjaga dengan baik. Walaupun saat ini penuh dengan lumut. Jikalau kena hujan maka tulisan ini bisa dibaca dengan jelas. Kedua, Situs Watu Mbolong, batu bulat, ada lima batu bulat adat Mbolong yang ada di compang di tengah Kampung Runa. Ketiga, Watu Cermeng, batu cermin dan gambar jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Batu cermin dengan gambar jenis kelamin laki-laki dan perempuan berada dalam satu batu besar. 

Bagian atas batu itu ada dua batu berbentuk cermin dan bagian bawahnya terdapat gambar jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Keempat, gambar kaki laki-laki dan perempuan di batu dengan nama situs Rukuh Tadhu. Tak jauh dari batu berbentuk cermin dan gambar jenis kelamin laki-laki dan perempuan, ada batu lain yang terdapat gambar kaki laki-laki dan perempuan dan juga ada gambar alat kelamin laki-laki dan perempuan dan juga sebuah gambar rumah. Arah gambar kaki laki-laki dan perempuan itu, jari-jari kaki mengarah ke bagian barat dari Kampung Runa. Kelima, gambar peta diatas batu. Berdasarkan penuturan orang luar dari Kampung Runa menyebut bahwa gambar peta itu seperti peta Negara India.

Keenam, Liang Segha Dewa, situs itu tempat persembunyian orang-orang Kampung Runa saat terjadi peperangan ribuan tahun lalu. Liang atau gua itu sangat dalam. Lihat Foto Nenek moyang orang Runa selalu menyebut gua atau liang itu sebagai tempat persembunyian orang Runa saat terjadi peperangan. Selain dari keenam situs itu, ada juga Liang Kikik, gua berbentuk jenis kelamin perempuan yang berada di bagian utara dari kampung Runa. Namun, gua atau liang Kikik, (gua berbentuk jenis kelamin perempuan) itu belum dimasukkan dalam sebuah situs sejarah. “Saya berharap ada peneliti dan arkeolog untuk meneliti situs-situs yang berada di kampung Lembah Runa. Hasil penelitian bisa menjadi pegangan dari orang Runa tentang jejak kaki, peta, gambar jenis kelamin dan tulisan yang terdapat di batu-batu besar di sekitar perkampungan lembah Runa,” jelasnya. Keempat, Kampung Ndaung, di Kampung Ndaung ada bukti sejarah sebuah perahu layar yang sudah membatu. Orang kampung Ndaung menyebutnya perahu layar nenek moyang mereka yang berasal dari Minangkabau. 

Semua perkampungan itu berada di lembah Daerah Aliran Sungai (DAS) Wae Impor yang hilirnya sampai di Pantai Nangalili, Bagian Selatan dari Manggarai Barat. Agustinus, Warga Kampung Ndaung-Redek kepada KompasTravel, Sabtu, (3/8/2019) menjelaskan, nenek moyang mereka selalu mengisahkan kedatangan orang Minangkabau pertama di perkampungan itu dengan bukti sebuah sampan. Saat ini sampan sudah berubah menjadi batu, namun, bentuknya tetap seperti sampan. “Jadi bukan hanya cerita lisan yang disampaikan nenek moyang dan orangtua saya di Kampung Ndaung-Redek, melainkan ada bukti sejarah sebuah Sampan dari orang Minangkabau tersebut. Ada namanya yang disebut orangtua saya, namun, saya agak lupa saat ini,” jelasnya. 

Terpisah Warga Kampung Kolang, Fransiskus Guntur, Petrus Ngempeng kepada KompasTravel, Sabtu, (3/8/2019) menjelaskan, Empo (leluhur) Pesau adalah nenek moyang orang Kolang yang berasal dari Minangkabau. Lihat Foto Dikisahkan secara lisan oleh tetua adat Kampung Lembah Kolang bahwa Pesau berlayar dari Minangkabau menuju ke Warloka, di Manggarai Barat. 

Zaman dulu, warloka merupakan pusat persinggahan kapal-kapal dagang dari berbagai Negara di dunia ini, termasuk China, India dan Negara Asia lainnya. Zaman itu orang Minangkabau juga berlayar menuju ke Warloka. Lalu, Empo Pesau berlayar dari Warloka menuju ke Nangalili, Bagian Selatan dari Manggarai Barat. Zaman itu air laut naik sampai di lembah Kolang karena ada daerah aliran sungai (DAS) Wae Impor, yang hulunya berada di kawasan lembah Kolang. Guntur dan Ngempeng menjelaskan, saat itu sebagaimana dikisahkan secara lisan, Empo Pesau berlayar dari Nangalili dengang perahu. Sempat singgah sementara di Golo (Bukit) Kolang di sekitar perkampungan Teno. Namun, akhirnya Empo Pesau menetap di Kampung Lembah Kolang hingga meninggal dunia.

“Kisah orang Minangkabau dengan nama Empo Pesau selalu dkisahkan secara turun temurun oleh penerus generasi orang Kolang dimana saja berada," ujar Fransiskus. 

Saat itu Empo Pesau bersumpah bahwa apabila dirinya bertemu dengan air sungai atau air tawar maka dirinya akan menetap di perkampungan itu dan tak akan kembali ke tanah Minangkabau. 

"Dan terbukti Empo Pesau menetap dan meninggal dunia di perkampungan Lembah Kolang. Masih ada bukti kuburannya,” jelasnya. 

Era sistem kerajaan di Manggarai Raya, Guntur dan Ngempeng menjelaskan, Kampung Lembah Kolang merupakan pusat kedaluan Kolang dibawah kekuasaan Raja Todo. Kampung Lembah Kolang merupakan tempat tinggal dalu pertama di kawasan hamente Kolang. Nama dalu Pertama itu adalah Dalu Peng dan Mense. 

Tidak ada komentar