Breaking News

Arab Revolt Jilid V: Bayang-Bayang di Timur Laut Suriah

Di tengah hembusan angin perubahan pasca jatuhnya rezim Bashar al-Assad pada akhir 2024, Suriah kini menghadapi gelombang baru yang mengingatkan pada sejarah panjang pemberontakan Arab melawan penindasan. Sejarah mencatat Arab Revolt jilid pertama pada 1916 sebagai perlawanan terhadap Kekaisaran Ottoman, di mana Sharif Hussein bin Ali memproklamirkan kemerdekaan Arab dengan dukungan Inggris, meskipun janji itu kemudian dikhianati melalui Perjanjian Sykes-Picot. Kini, di wilayah timur laut Suriah yang dikuasai Syrian Democratic Forces (SDF), ketegangan antara pasukan Kurdi-dominan ini dan suku-suku Arab semakin memanas, membangkitkan spekulasi tentang kemungkinan Arab Revolt jilid V jika tekanan politik SDF terhadap warga Arab terus berlanjut. Narasi ini bukan sekadar hipotesis, melainkan proyeksi berdasarkan pola sejarah dan dinamika terkini yang menunjukkan retakan koalisi rapuh.

Jilid kedua dari pemberontakan Arab, yang sering disebut sebagai Revolusi Arab Palestina 1936-1939, meletus sebagai respons terhadap mandat Inggris dan imigrasi Yahudi yang masif. Ribuan warga Arab Palestina bangkit, memulai dengan pemogokan umum di Jaffa dan Nablus, yang berkembang menjadi perlawanan bersenjata melawan kolonialisme Barat. Para pemimpin seperti Haji Amin al-Husseini memobilisasi massa melalui Komite Tinggi Arab, yang menjadi cikal bakal pemerintahan awal Palestina, menuntut kemerdekaan dan penghentian Deklarasi Balfour. Kekerasan itu menewaskan ratusan jiwa dari kedua belah pihak, memaksa Inggris merevisi kebijakan dan membatasi imigrasi Yahudi, meskipun akhirnya memicu pembentukan milisi Zionis seperti kelompok teroris Haganah dll. Pola ini mirip dengan situasi saat ini di Suriah timur laut, di mana suku-suku Arab merasa dimarginalkan oleh SDF, yang didukung AS. Warga Arab menuntut wilayahnya yang dominan Arab seperti Raqqa dan Deir Ezzour terpisah dari kekuasaan Kurdi dan menyatu dengan Damaskus.

Sementara itu, jilid ketiga yang lebih luas adalah Arab Spring 2010-2012, gelombang pro-demokrasi yang menyapu dunia Arab dari Tunisia hingga Suriah sendiri, pasca berakhirnya mandat koalisi AS dkk di Irak usai satu dekade menumbangkan Saddam Husein.

Dimulai dengan pembakaran diri Mohamed Bouazizi di Tunisia, demonstrasi ini menumbangkan diktator seperti Zine El Abidine Ben Ali, Hosni Mubarak, dan Muammar Gaddafi, serta memicu perang saudara di Libya, Yaman, dan Suriah. Di Suriah, demonstrasi damai cepat berubah menjadi konflik bersenjata, dengan tuntutan reformasi ekonomi, hak asasi manusia, dan mengakhiri korupsi rezim Assad, karena adanya intervensi asing melalui sejumlah proyek intelijen termasuk proyek 'hornet nest' CIA untuk mengobok-obok negara Arab.

Meskipun gagal menarget seluruh negara Arab, Arab Spring menunjukkan bagaimana tekanan politik dan ekonomi dapat memicu pemberontakan massal, sebuah pelajaran yang relevan bagi SDF yang kini dituduh memonopoli sumber daya minyak dan memaksakan wajib militer pada pemuda Arab.

Jilid keempat, yang mencakup protes pan-Arab 2018-2024, melanjutkan semangat perlawanan terhadap rezim otoriter dan pengaruh asing, termasuk gelombang kedua Arab Spring di Sudan, Aljazair, dan Irak, serta puncaknya dalam jatuhnya Assad pada Desember 2024, terbelahnya Sudan menjadi dua pemerintahan paralel; versi Port Sudan (Khartoum) dan versi Nyala di Darfur Selatan serta berdirinya negara Bagian Khatumo SSC yang kini dikenal The North Eastern State di Somalia terpisah dari Somaliland.

Protes ini sering kali dipicu oleh krisis ekonomi, korupsi, dan intervensi luar seperti dukungan Iran bagi milisi pro-Assad. Di Irak, misalnya, demonstrasi Tishreen 2019 menuntut akhir dominasi politik sektarian, sementara di Suriah, oposisi dari pemerintahan penyelamat (SG) di Idlib dan interim (SIG) di Azas memanfaatkan ketidakpuasan rakyat untuk merebut Damaskus. Seri pemberontakan ini menekankan tema berulang: penindasan politik memicu solidaritas Arab lintas batas, yang kini terlihat dalam solidaritas suku-suku di Deir ez-Zor dan Hasakah terhadap SDF.

Kembali ke kemungkinan jilid kelima, situasi di timur laut Suriah pada September 2025 menunjukkan tanda-tanda membara. SDF, koalisi Arab-Kurdi yang didominasi YPG Kurdi dengan dukungan AS, menguasai sekitar 30 persen wilayah Suriah, dengan 70 persen ladang migas, termasuk Deir ez-Zor yang mayoritas Arab. Meskipun SDF mengklaim sebagai kekuatan multi-etnis dengan mayoritas anggota Arab, keluhan suku-suku seperti Al-Uqaidat, Al-Bakara, dan Al-Shaitat semakin vokal. Mereka menuduh SDF melakukan diskriminasi, merekrut anak di bawah umur, memonopoli minyak, dan menekan identitas Arab melalui kurikulum sekolah yang dianggap pro-Kurdi. Insiden seperti penembakan anak berusia 11 tahun Farid al-Hureish oleh tentara SDF di Abu Hardoub pada Juni 2025 telah memicu kemarahan massal, mirip pemicu kecil yang meledakkan revolusi sebelumnya.

Tekanan politik SDF terhadap warga Arab semakin terasa setelah jatuhnya Assad. Pada Agustus 2024, koalisi suku Arab melancarkan serangan terhadap posisi SDF di Deir ez-Zor, merebut desa-desa di tepi timur Sungai Efrat sebelum didorong mundur oleh helikopter AS. Pemimpin suku seperti Ibrahim al-Hifl dari Al-Uqaidat mendeklarasikan "pertempuran baru" melawan SDF, menuntut pembentukan dewan militer suku Arab independen. Pada 2025, mobilisasi umum (nafeer aam) dari suku-suku Al-Naim, Al-Bushaaban (mayoritas), dan Qais Aylan telah dipanggil, dengan koordinasi untuk "membebaskan Jazira Suriah" dari kendali SDF. Ini bukan lagi ketegangan sporadis, melainkan gerakan yang terorganisir, didorong oleh rasa terpinggirkan di tengah negosiasi macet antara SDF dan pemerintah Presiden Ahmed Al Sharaa di Damaskus.

Jika SDF terus menekan, seperti melalui kampanye penangkapan massal di Hasakah pada 2025—di mana puluhan anggota suku ditahan setelah kunjungan ke Damaskus—maka pemberontakan bisa meledak. SDF juga khawatir pemerintah baru menggunakan "kartu suku" untuk melemahkan mereka, sehingga elit Kurdistan Irak mulai menyuarakan akan mendukung SDF Suriah jika terjadi konflik.

Analis seperti Wladimir van Wilgenburg memperingatkan bahwa suku-suku bersenjata bisa beralih sisi ke Damaskus, seperti yang terjadi pada Liwa Jund Al-Haramain selama pertempuran Manbij 2024. Insiden di Suwayda pada Juli 2025, di mana bentrokan antara suku Arab juga terjadi di Suwaida setelah Druze menculik Arab Badui dan dianggap melakukan pembersihan etnis karena ingin mendirikan negara mini Jabal Druze eksklusif untuk Druze oleh milisi Al Hajri pro Israel.

Konflik ini menewaskan ratusan dan memicu mobilisasi nasional, telah menjadi katalisator, dengan suku-suku melihat SDF Kurdi sebagai ancaman serupa terhadap identitas mereka.

Narasi kemungkinan jilid V ini didasarkan pada pola sejarah di mana penindasan memicu solidaritas. Seperti jilid pertama melawan Ottoman yang menjanjikan kemerdekaan tapi berujung pembagian wilayah, SDF Kurdi yang awalnya bersekutu dengan Arab melawan ISIS kini dituduh mengkhianati suku Arab dengan sentralisasi kekuasaan di tangan Kurdi. Di Deir ez-Zor, di mana suku-suku Arab membentuk tulang punggung koalisi SDF, retakan juga terjadi karena pimpinan SDF dinilai mempunyai agenda transnasional untuk melemahkan Turki, sebuah agenda yang berasal dari kelompok PKK, induk YPG yang mendominasi SDF.

Pada September 2025, pemimpin suku Faraj al-Salamah menyatakan bahwa koordinasi antar-suku sedang berlangsung, menunggu momen tepat untuk bergerak, menyerupai persiapan Revolusi Palestina 1936.

Lebih lanjut, pengaruh asing memperumit narasi ini. AS dkk awalnya mendukung SDF untuk misi anti-terorisme, tapi belakangan mempunyai agenda tersebunyi yang paralel dengan proyek Greater Israel, bisa memicu eskalasi. Protes pan-Arab 2018-2024 menunjukkan bagaimana media sosial dan solidaritas regional mempercepat pemberontakan; kini, rekaman penangkapan SDF terhadap warga Arab menyebar luas, membangkitkan kemarahan di Raqqa dan Aleppo. Jika negosiasi SDF-Damaskus gagal, suku-suku bisa melihat pemerintah transisi sebagai sekutu, memicu revolusi yang lebih besar, di mana tuntutan otonomi berubah menjadi perlawanan bersenjata.

Dalam skenario terburuk, Arab Revolt jilid V bisa dimulai dengan pemogokan umum di kota-kota seperti Deir ez-Zor, diikuti serangan gerilya terhadap pos SDF, mirip taktik Lawrence of Arabia di jilid pertama. Suku-suku, dengan pengalaman bertempur, memiliki kemampuan militer; pemimpin seperti Abu Khawla, yang ditangkap SDF pada 2023 dan memicu bentrokan yang menewaskan 118 orang, tetap menjadi simbol perlawanan. UN Commission of Inquiry pada 2024 memperingatkan bahwa pertempuran di timur laut bisa memicu konflik regional besar, dengan korban sipil dan kejahatan perang yang berulang.

Namun, narasi ini juga membuka peluang rekonsiliasi. Seperti akhir Revolusi Palestina yang memaksa Inggris bernegosiasi, SDF bisa meredakan ketegangan dengan memberi lebih banyak kekuasaan pada dewan suku Arab, seperti yang dituntut pada September 2025. Pemerintah transisi di bawah Presiden Ahmed al-Sharaa telah menunjuk Hussein Al-Salama dari suku Uqaydat sebagai kepala intelijen, menandakan upaya mengintegrasikan suku. Jika SDF mengabaikan ini, revolusi bisa menyebar apalagi jika SDF terus menyeret suku-suku Arab untuk agenda anti Turki PKK yang dinilai tidak ada sangkut pautnya dengan Arab.

Secara keseluruhan, kemungkinan Arab Revolt jilid V bukan mimpi buruk yang jauh, melainkan ancaman nyata jika tekanan politik SDF berlanjut. Sejarah jilid I-IV mengajarkan bahwa pemberontakan lahir dari ketidakadilan, dan di Suriah 2025, suku Arab siap bangkit jika identitas mereka terus ditekan. Dengan mobilisasi suku yang sedang berlangsung dan negosiasi yang mandek, timur laut Suriah bisa menjadi medan perang baru, mengubah dinamika pasca-Assad menjadi babak baru dalam perjuangan Arab melawan dominasi luar. Hanya dialog inklusif yang bisa mencegah sejarah berulang, tapi waktu semakin menipis di tengah hembusan angin perubahan.

Tidak ada komentar