Pewaris Kesultanan Aceh dan Raja Yordania: Inspirasi Kepemimpinan di Nusantara

Banda Aceh – Pewaris Kesultanan Aceh Darussalam, Tuanku Muhammad (I) ZN Al Haj, kembali menarik perhatian publik dengan pengibaran bendera alam pedang dalam peringatan 1 Muharram 1445 Hijriah. Upacara ini menjadi simbol kebangkitan kembali nilai-nilai kerajaan yang pernah berjaya di Nusantara. Menariknya, fenomena ini bisa dibandingkan dengan model kepemimpinan monarki di Yordania, yang tetap memiliki peran besar dalam politik dan sosial masyarakat.

Aceh, yang memiliki sejarah panjang sebagai kesultanan Islam yang disegani, dapat mengambil inspirasi dari Raja Yordania dalam membangun harmoni antara institusi adat dan pemerintahan modern. Raja Abdullah II dari Yordania tidak hanya menjadi simbol persatuan bangsa, tetapi juga berperan aktif dalam diplomasi internasional serta kesejahteraan rakyatnya.

Yordania adalah negara kecil di Timur Tengah dengan populasi sekitar 11 juta jiwa. Sementara itu, Aceh memiliki populasi sekitar 5,4 juta jiwa. Meski berbeda dalam skala, Aceh dan Yordania memiliki kesamaan dalam sejarah Islam yang kuat serta sistem pemerintahan yang menghargai peran pemimpin tradisional.

Di Aceh, eksistensi Wali Nanggroe sebagai simbol adat memiliki kemiripan dengan peran Raja Yordania. Namun, perbedaannya terletak pada sistem pemerintahan. Jika di Yordania raja memiliki wewenang besar dalam pemerintahan, di Aceh Wali Nanggroe lebih berperan sebagai penjaga identitas budaya dan adat istiadat.

Tuanku Muhammad (I) ZN Al Haj yang mengklaim sebagai pewaris sah Kesultanan Aceh memiliki peluang untuk membangun sinergi dengan Pemerintah Aceh dalam menjaga dan mengembangkan warisan budaya. Seperti halnya Raja Abdullah II yang aktif dalam kebijakan pendidikan, ekonomi, dan sosial, peran pewaris kesultanan dapat diperkuat dalam aspek pelestarian sejarah, pendidikan Islam, dan diplomasi budaya.

Dalam upacara yang digelar di Istana Darul Ihsan, Banda Aceh, Rabu (19/7/2023), pengibaran bendera alam pedang menjadi momen bersejarah. Hadirnya komunitas internasional dari Thailand, Korea Selatan, Laos, Malaysia, hingga berbagai daerah di Nusantara menunjukkan bahwa Aceh masih memiliki daya tarik budaya yang kuat di mata dunia.

Bendera alam pedang, yang memiliki warna merah dengan bintang dan bulan sabit putih serta pedang di bagian bawah, adalah simbol yang telah ada sejak ratusan tahun lalu. Pengibaran bendera ini, yang diiringi selawat badar, mencerminkan semangat keislaman dan kebanggaan terhadap sejarah Aceh.

Aceh saat ini menghadapi tantangan dalam mempertahankan identitas budaya dan politiknya. Ketegangan antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Aceh mengenai bendera dan himne menunjukkan bahwa isu identitas masih menjadi perdebatan yang kompleks. Dalam situasi ini, peran Tuanku Muhammad (I) ZN Al Haj dapat menjadi penengah yang membawa perspektif historis untuk menyelesaikan perbedaan secara damai.

Sinergi antara pewaris kesultanan, Gubernur Aceh, dan Wali Nanggroe menjadi kunci dalam memperkuat posisi Aceh di tingkat nasional dan internasional. Dengan mengadopsi model kepemimpinan Raja Yordania, di mana peran monarki dan pemerintahan bekerja bersama untuk kemajuan negara, Aceh dapat menciptakan keseimbangan antara adat, agama, dan pembangunan.

Salah satu langkah strategis yang dapat dilakukan adalah menjadikan Istana Darul Ihsan sebagai pusat diplomasi budaya dan sejarah Aceh. Dengan begitu, Aceh dapat menarik perhatian wisatawan, peneliti, serta investor yang tertarik dengan sejarah kerajaan Islam.

Selain itu, Pemerintah Aceh dapat mendukung kegiatan budaya seperti peringatan 1 Muharram dengan memasukkan unsur edukatif yang mengajarkan generasi muda tentang sejarah dan nilai-nilai Islam yang diwariskan oleh Kesultanan Aceh.

Pewaris Kesultanan Aceh juga dapat berperan dalam memperkuat hubungan Aceh dengan dunia Islam. Seperti halnya Raja Yordania yang aktif dalam diplomasi Timur Tengah, Aceh bisa memanfaatkan hubungan sejarahnya dengan Turki, Malaysia, dan Timur Tengah untuk memperkuat posisinya dalam jaringan Islam global.

Peran pewaris kesultanan dalam bidang sosial juga dapat ditingkatkan. Misalnya, mendirikan yayasan pendidikan berbasis Islam yang mengajarkan sejarah dan nilai-nilai kebangsaan, sebagaimana Yordania mengembangkan sistem pendidikan modern berbasis nilai-nilai Islam.

Di bidang ekonomi, sinergi antara pewaris kesultanan dan Pemerintah Aceh dapat difokuskan pada pengembangan pariwisata sejarah dan religi. Model pengelolaan situs sejarah di Yordania, seperti Petra dan peninggalan Islam lainnya, bisa menjadi inspirasi bagi Aceh dalam mengelola warisan Kesultanan Aceh.

Aceh juga dapat memanfaatkan jaringan komunitas internasional yang hadir dalam acara di Istana Darul Ihsan untuk membangun jejaring diplomasi budaya. Keberadaan undangan dari Thailand, Korea Selatan, Laos, dan Malaysia menunjukkan bahwa Aceh masih memiliki magnet kuat di kawasan Asia.

Jika dikelola dengan baik, pewaris Kesultanan Aceh dapat menjadi duta budaya dan sejarah yang memperkenalkan Aceh ke dunia, sebagaimana Raja Abdullah II membawa nama Yordania dalam forum global.

Mewujudkan sinergi ini tentu membutuhkan komitmen dari berbagai pihak. Pemerintah Aceh, Gubernur Aceh, dan Wali Nanggroe perlu membuka ruang diskusi dengan pewaris kesultanan untuk menemukan cara terbaik dalam menjaga dan memanfaatkan warisan sejarah sebagai aset pembangunan.

Dengan mengambil inspirasi dari kepemimpinan Raja Yordania, pewaris Kesultanan Aceh dapat berperan sebagai simbol persatuan dan penjaga nilai-nilai budaya serta agama yang telah diwariskan oleh nenek moyang. Ini bukan sekadar nostalgia sejarah, melainkan langkah nyata dalam membangun masa depan Aceh yang berakar pada kejayaannya di masa lalu.

Tidak ada komentar