Prabowo Dorong Swasta Garap Infrastruktur, Titik Terang JSS dan JSM?
Langkah Presiden Prabowo Subianto mengalihkan sebagian besar proyek infrastruktur ke sektor swasta membuka babak baru potensi merealisasikan pembangunan proyek-proyek strategis nasional. Kebijakan ini secara langsung dituangkan dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 tentang efisiensi belanja negara yang bertujuan menutup celah kebocoran anggaran. Salah satu sektor yang paling rawan terjadi kebocoran selama ini adalah proyek infrastruktur skala besar yang dikelola penuh oleh negara.
Dalam pernyataannya, Presiden Prabowo menilai bahwa banyak proyek infrastruktur selama ini tidak berjalan optimal karena terlalu banyak celah dalam perencanaan hingga eksekusi. Kebocoran anggaran dan praktik rente kerap terjadi sehingga nilai manfaat proyek tidak sebanding dengan biaya besar yang dikeluarkan. Untuk itu, ia menilai pengalihan proyek ke pihak swasta bisa menjadi solusi efektif demi menjaga transparansi dan efisiensi anggaran.
Salah satu proyek yang kembali ramai dibicarakan adalah pembangunan Jembatan Selat Sunda (JSS) dan Jembatan Selat Malaka (JSM). Kedua proyek ambisius ini sejak awal memang dirancang untuk bisa digarap swasta karena nilai investasinya yang sangat besar dan kompleksitas teknis yang tinggi. Dengan arah kebijakan baru ini, peluang untuk merealisasikan dua megaproyek tersebut pun terbuka kembali.
Kesuksesan pertemuan Presiden Prabowo dengan Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim baru-baru ini dapat dinilai menjadi sinyal positif untuk menghidupkan wacana Jembatan Selat Malaka. Kerja sama infrastruktur lintas negara memang menjadi salah satu topik penting yang dibahas dalam pertemuan bilateral tersebut. Kedua pemimpin negara sepakat mempererat hubungan ekonomi dan konektivitas antarwilayah.
Jembatan Selat Malaka dipandang memiliki nilai strategis tinggi karena akan menghubungkan Pulau Sumatra dengan Semenanjung Malaysia, sekaligus menjadi jalur logistik utama di kawasan ASEAN. Sejak lama, gagasan proyek ini sempat tertunda akibat persoalan politik dan pembiayaan. Dengan skema pembiayaan swasta, hambatan itu bisa diatasi lebih fleksibel.
Sementara itu, wacana pembangunan Jembatan Selat Sunda juga kembali mencuat. Proyek ini pernah dirancang pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, namun dihentikan pada era pemerintahan berikutnya. Kini, di bawah Prabowo, peluang itu kembali terbuka karena kebijakan mendorong swasta menangani proyek-proyek infrastruktur skala besar.
Pemerintah melihat swasta memiliki kemampuan pendanaan dan manajemen risiko yang lebih gesit dibanding anggaran negara. Selain itu, keterlibatan swasta diharapkan memacu kompetisi sehat antar investor global yang berminat berinvestasi di Indonesia. Terlebih, lokasi kedua proyek jembatan tersebut masuk jalur strategis pelayaran dunia.
Instruksi Presiden tersebut juga menekankan bahwa pemerintah akan tetap hadir sebagai regulator, pengawas, dan penyedia insentif bagi proyek strategis. Skema Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) atau Public Private Partnership (PPP) menjadi instrumen utama yang akan didorong dalam proyek-proyek raksasa ini.
Selain membuka peluang kerja sama dengan investor domestik, pemerintah juga memberi lampu hijau bagi konsorsium asing. Beberapa perusahaan infrastruktur dari Jepang, Korea Selatan, Tiongkok, dan Timur Tengah disebut-sebut mulai menunjukkan ketertarikan terhadap proyek tersebut.
Kementerian PUPR bersama Kementerian Perhubungan dapat diminta melakukan kajian ulang terhadap blueprint Jembatan Selat Sunda dan Selat Malaka. Kajian tersebut akan disesuaikan dengan perkembangan teknologi, kebutuhan kawasan, serta dampak lingkungan terbaru.
Secara ekonomi, kedua proyek itu diyakini bisa menjadi katalis pertumbuhan kawasan Sumatra, Banten, dan wilayah barat Indonesia secara keseluruhan. Arus barang dan mobilitas manusia akan lebih lancar, sekaligus mendorong pengembangan kawasan industri baru di sepanjang jalur konektivitas.
Dari segi geopolitik, keberadaan Jembatan Selat Sunda dan Selat Malaka akan meningkatkan posisi tawar Indonesia di kawasan Indo-Pasifik. Kedua jalur tersebut selama ini menjadi salah satu rute perdagangan tersibuk di dunia yang menghubungkan Samudera Hindia dan Pasifik.
Dalam jangka panjang, keberhasilan pembangunan dua jembatan tersebut bisa menjadi warisan infrastruktur strategis bagi Indonesia. Tidak hanya untuk kepentingan ekonomi, tetapi juga pertahanan dan stabilitas kawasan.
Prabowo menekankan bahwa kerja sama swasta bukan berarti pemerintah lepas tangan, justru pengawasan harus makin ketat. Pemerintah akan menerapkan mekanisme audit ketat, laporan keuangan terbuka, dan pemenuhan standar keselamatan internasional.
Saat ini beberapa BUMN konstruksi juga dapat dipersiapkan untuk menjadi mitra lokal bagi konsorsium asing yang berminat. Sinergi ini diharapkan dapat mempercepat alih teknologi sekaligus menciptakan lapangan kerja bagi tenaga kerja Indonesia.
Pemerintah juga mengantisipasi potensi dampak lingkungan dan sosial yang mungkin muncul. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bersama akademisi akan dilibatkan dalam proses analisis dampak lingkungan sejak tahap awal.
Jika semua proses berjalan lancar, pemerintah bisa menargetkan groundbreaking tahap pertama Jembatan Selat Sunda bisa dilakukan sebelum 2029, begitu juga JSM.
Masyarakat menyambut baik kebijakan ini karena membuka harapan baru bagi konektivitas wilayah barat Indonesia yang selama ini terkendala biaya logistik tinggi. Infrastruktur konektivitas lintas selat ini diyakini akan menggerakkan perekonomian daerah terpencil di Sumatra dan Banten.
Langkah Prabowo mengalihkan megaproyek ke swasta dianggap keputusan tepat dan pragmatis di tengah kondisi fiskal negara yang ketat. Jika proyek ini berhasil, Indonesia bisa menorehkan sejarah baru sebagai negara pertama di Asia Tenggara yang membangun dua jembatan antarnegara di jalur pelayaran utama dunia.
Tidak ada komentar