Di Nusa Tenggara Timur, Muslim Ikut Bantu Bangun Gereja
Kerukunan antarumat beragama di Kabupaten Alor sudah terjalin sejak ratusan tahun lalu, tak heran jika pemeluk Islam ikut membangun gereja dan warga beragama Kristen membantu mendirikan masjid.
Bahkan di salah satu desa, ada Gereja Ismail yang dibangun atas inisiatif warga Muslim.
Bunyi lonceng gereja terdengar di penjuru Kampung Ilawe Desa Alila Timur, sejumlah warga tampak berjalan menuju Gereja Ismail yang berada di tengah desa.
Nama Ismail bukanlah nama yang 'lazim' untuk sebuah gereja. Tetapi menurut sesepuh kampung dan pengurus gereja, nama itu diambil dari orang Muslim yang mendirikan rumah ibadah umat Kristiani itu.
“Dulu itu mereka dari gunung pindah ke bawah karena tak ada air, jumlahnya sedikit saja, dan tak pernah ke gereja karena tak ada, maka dibangunlah gereja oleh keluarga Muslim,” jelas Ahmad.
Dia menjelaskan warga di desa itu berasal dari satu keluarga, ketika agama masuk ke Alor, sebagian besar anggotanya memilih masuk Islam, sementara lainnya memeluk Kristen.
Keinginan umat Islam
Awalnya pembangunan gereja tidak memenuhi syarat karena hanya ada empat kepala keluarga KK yang beragama Kristen, tetapi kemudian beberapa orang Islam mengajukan diri agar namanya dicantumkan dalam daftar tersebut.
“Umat Islam di sini berkeinginan membangun gereja di sini agar empat KK yang beragama Kristen bisa pergi ke gereja di sini, tetapi tidak masuk persyaratan untuk dimasukan ke wilayah kependetaan, jadi beberapa orang Muslim memasukan nama mereka ke dalam daftar yang mengajukan izin pembangunan gereja," jelas penanggung jawab Gereja Ismail, Pendeta Mesak Lobanbil.
Salah satu yang mendukung pembangunan gereja adalah keluarga Imam Masjid Darul Falaq, Dahlan Lobang. Kakaknya Ismail yang melakukan pembangunan gereja, dan gereja kemudian diberi nama Ismail, ketika selesai dibangun pada 1949 lalu.
Beberapa bagian gereja hancur ketika gempa besar terjadi di Alor pada 1991 lalu, begitu pula dua masjid yang ada di Kampung Ilawe ini. Kemudian, warga saling membantu membangun kembali dan merenovasi rumah ibadah yang rusak itu.
Saling bantu bangun masjid
Selain di Kampung Ilawe, warga Muslim dan Kristen di Desa Dulolong Barat , kecamatan Alor Barat Laut, juga saling membantu pembangunan rumah ibadah.
Imam Masjid Sabili Salam, Sumirat mengatakan pembangunan gereja dilakukan bersama-sama tidak memandang agama.
“Kita bangun sama-sama, begitu pula renovasi yang dilakukan pada dua tahun lalu, kami warga Muslim membantu bangun gereja,” jelas Sumirat.
Sekretaris gereja Imanuel Folbo, Martinus Beka mengatakan kerukunan warga Muslim dan Kristen sudah terjalin sejak nenek moyang.
“Sudah dari dulu orang tua (ketika tinggal) di gunung sudah ada kerukunan, Muslim dan Kristen ini kan orang bersaudara dalam rumah, ketika kami orang di Alor ini mulai kenal beragam, yang sulung tetap di gunung jadi Kristen dan yang di pantai menjadi Muslim,” kata dia.
Martinus mengatakan warga juga saling membantu ketika ada perayaan agama Islam ataupun Kristen.
“Untuk gotong royong itu sudah budaya di sini, orang luar tak akan mengenali mana Kristen mana Islam karena kami sudah seperti keluarga, saling membantu, jika ada kegiatan masjid yang mereka hanya terima tamu kami yang siapkan, begitu pula sebaliknya, “ jelas Martinus.
Hubungan kultural
Masyarakat di Kabupaten Alor terbagi dua yang tinggal di pesisir pantai dan pegunungan, sebagian besar yang berada di pinggir laut beragama Islam, sementara di pegunungan memeluk Kristen.
Kerukunan antar agama yang terjalin dalam masyarakat di Kabupaten Alor ataupun di NTT, merupakan bentuk hubungan kultural yang dibangun sebelum agama masuk ke wilayah ini.
“Hubugan umat beragama ini bukan merupakan hubungan yang formal tetapi sejak awal kultural, suatu hubungan bukan hanya berdasarkan agama di dalam dirinya tetapi suatu hubungan berdasarkan hidup manusia,” jelas Romo Geradus Duka, Vikaris Jenderal Keuskupan Agung Kupang.
Tokoh agama Katolik yang berasal dari Alor ini, juga mengatakan perbedaan agama dalam satu keluarga di kalangan masyarakat di Nusa Tenggara Timur merupakan hal yang biasa.
“Rasa saling memahami terbentuk mulai dari keluarga, termasuk di keluarga saya,” jelas dia.
Tak heran, jika hari raya Idul fitri dan Natal merupakan perayaan bersama bagi semua kalangan masyarakat, jelas Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Kabupaten Alor, Muhamad Marhaban.
“Dalam pawai Ramadan semua masyarakat ikut terlibat tidak memadang agama, begitu pula ketika kita mengadakan MTQ, itu yang jadi panitia adalah saudara kita yang beragama Kristen,” jelas Marhaban.
Marhaban mengatakan selama ini konflik antar agama, terutama dalam pembangunan rumah ibadah tidak pernah terjadi, bahkan saling membantu karena mereka merasa berasal dari satu keluarga. (sumber)
Bahkan di salah satu desa, ada Gereja Ismail yang dibangun atas inisiatif warga Muslim.
Bunyi lonceng gereja terdengar di penjuru Kampung Ilawe Desa Alila Timur, sejumlah warga tampak berjalan menuju Gereja Ismail yang berada di tengah desa.
Nama Ismail bukanlah nama yang 'lazim' untuk sebuah gereja. Tetapi menurut sesepuh kampung dan pengurus gereja, nama itu diambil dari orang Muslim yang mendirikan rumah ibadah umat Kristiani itu.
“Dulu itu mereka dari gunung pindah ke bawah karena tak ada air, jumlahnya sedikit saja, dan tak pernah ke gereja karena tak ada, maka dibangunlah gereja oleh keluarga Muslim,” jelas Ahmad.
Dia menjelaskan warga di desa itu berasal dari satu keluarga, ketika agama masuk ke Alor, sebagian besar anggotanya memilih masuk Islam, sementara lainnya memeluk Kristen.
Keinginan umat Islam
Awalnya pembangunan gereja tidak memenuhi syarat karena hanya ada empat kepala keluarga KK yang beragama Kristen, tetapi kemudian beberapa orang Islam mengajukan diri agar namanya dicantumkan dalam daftar tersebut.
“Umat Islam di sini berkeinginan membangun gereja di sini agar empat KK yang beragama Kristen bisa pergi ke gereja di sini, tetapi tidak masuk persyaratan untuk dimasukan ke wilayah kependetaan, jadi beberapa orang Muslim memasukan nama mereka ke dalam daftar yang mengajukan izin pembangunan gereja," jelas penanggung jawab Gereja Ismail, Pendeta Mesak Lobanbil.
Salah satu yang mendukung pembangunan gereja adalah keluarga Imam Masjid Darul Falaq, Dahlan Lobang. Kakaknya Ismail yang melakukan pembangunan gereja, dan gereja kemudian diberi nama Ismail, ketika selesai dibangun pada 1949 lalu.
Beberapa bagian gereja hancur ketika gempa besar terjadi di Alor pada 1991 lalu, begitu pula dua masjid yang ada di Kampung Ilawe ini. Kemudian, warga saling membantu membangun kembali dan merenovasi rumah ibadah yang rusak itu.
Saling bantu bangun masjid
Selain di Kampung Ilawe, warga Muslim dan Kristen di Desa Dulolong Barat , kecamatan Alor Barat Laut, juga saling membantu pembangunan rumah ibadah.
Imam Masjid Sabili Salam, Sumirat mengatakan pembangunan gereja dilakukan bersama-sama tidak memandang agama.
“Kita bangun sama-sama, begitu pula renovasi yang dilakukan pada dua tahun lalu, kami warga Muslim membantu bangun gereja,” jelas Sumirat.
Sekretaris gereja Imanuel Folbo, Martinus Beka mengatakan kerukunan warga Muslim dan Kristen sudah terjalin sejak nenek moyang.
“Sudah dari dulu orang tua (ketika tinggal) di gunung sudah ada kerukunan, Muslim dan Kristen ini kan orang bersaudara dalam rumah, ketika kami orang di Alor ini mulai kenal beragam, yang sulung tetap di gunung jadi Kristen dan yang di pantai menjadi Muslim,” kata dia.
Martinus mengatakan warga juga saling membantu ketika ada perayaan agama Islam ataupun Kristen.
“Untuk gotong royong itu sudah budaya di sini, orang luar tak akan mengenali mana Kristen mana Islam karena kami sudah seperti keluarga, saling membantu, jika ada kegiatan masjid yang mereka hanya terima tamu kami yang siapkan, begitu pula sebaliknya, “ jelas Martinus.
Hubungan kultural
Masyarakat di Kabupaten Alor terbagi dua yang tinggal di pesisir pantai dan pegunungan, sebagian besar yang berada di pinggir laut beragama Islam, sementara di pegunungan memeluk Kristen.
Kerukunan antar agama yang terjalin dalam masyarakat di Kabupaten Alor ataupun di NTT, merupakan bentuk hubungan kultural yang dibangun sebelum agama masuk ke wilayah ini.
“Hubugan umat beragama ini bukan merupakan hubungan yang formal tetapi sejak awal kultural, suatu hubungan bukan hanya berdasarkan agama di dalam dirinya tetapi suatu hubungan berdasarkan hidup manusia,” jelas Romo Geradus Duka, Vikaris Jenderal Keuskupan Agung Kupang.
Tokoh agama Katolik yang berasal dari Alor ini, juga mengatakan perbedaan agama dalam satu keluarga di kalangan masyarakat di Nusa Tenggara Timur merupakan hal yang biasa.
“Rasa saling memahami terbentuk mulai dari keluarga, termasuk di keluarga saya,” jelas dia.
Tak heran, jika hari raya Idul fitri dan Natal merupakan perayaan bersama bagi semua kalangan masyarakat, jelas Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Kabupaten Alor, Muhamad Marhaban.
“Dalam pawai Ramadan semua masyarakat ikut terlibat tidak memadang agama, begitu pula ketika kita mengadakan MTQ, itu yang jadi panitia adalah saudara kita yang beragama Kristen,” jelas Marhaban.
Marhaban mengatakan selama ini konflik antar agama, terutama dalam pembangunan rumah ibadah tidak pernah terjadi, bahkan saling membantu karena mereka merasa berasal dari satu keluarga. (sumber)
Tidak ada komentar